Suatu pagi di tanggal 12 Januari 2015, sehari setelah terjadi demonstrasi besar-besaran yang mengutuk penembakan 7 Januari di kantor majalah satir Charlie Hebdo, seorang ibu guru menyuruh anak-anak didiknya untuk menggambar Muhammad (SAW). Guru tersebut menyuruh seluruh siswa untuk menggambar Nabi SAW dan memikirkan gambar tersebut dalam benak bahwa gambar tersebut akan tayang di halaman depan edisi majalah Charlie Hebdo berikutnya.
Seorang murid muslim mengacungkan tangannya, hendak menanyakan sesuatu kepada gurunya tersebut. Tetapi si ibu guru buru-buru menjawab, “Tak ada pertanyaan.”
Akhirnya masing-masing murid sibuk dengan pensil dan kertas gambarnya. Hanya seorang murid muslim tersebut yang masih kebingungan harus bagaimana menggambarnya.
Waktu pun berlalu hingga akhirnya tiba waktu untuk mengumpulkan tugas tersebut. Semua siswa mengumpulkan kertas ke meja dan pulang ke rumah masing-masing. Sang ibu guru pun membawa tumpukan kertas-kertas yang ia tugaskan tersebut keluar kelas. Dia lalu duduk di sebuah bangku dan memeriksa hasil-hasil gambar para siswanya. Dia memeriksa hasil tugas dari seorang siswa muslim. Di kertas tersebut tertulis sebuah kata-kata layaknya seperti sebuah surat. Lalu dia membacanya dalam hati sebaris demi sebaris. Surat itu berbunyi:
Kepada Nabiku tercinta,
Hari ini di sekolah, guru kami meminta kami untuk menggambarmu.
Saya ingin menggambarnya, tapi saya tidak pernah melihatmu.
Sehingga kututup mataku…
Dan kuteringat air mata menetes dari kedua mata ibuku saat dia membaca kisah tentangmu,
Kulihat ayahku mendirikan sholat sepanjang malam,
Kulihat kakak perempuanku yang tersenyum, walaupun dia baru saja dicaci maki di jalan,
Kulihat teman baikku meminta maaf padaku, karena telah salah.
Saya ingin menggambar semua bayangan-bayangan tersebut.
Disini, orang-orang ingin menjumpai segalanya untuk menyaksikannya.
Tapi kututup mataku. Dan kulihat engkau mendatangiku.
Kulihat engkau mendatangi kami dengan senyum terindahmu.
Bagaimana mungkin aku bisa menggambar sebuah senyuman yang sempurna?
Guruku tidak mengijinkanku untuk berbicara ketika saya ingin menjelaskan kepadanya.
Saya tidak bisa menyalahkannya.
Dia mungkin belum pernah belajar mencintai seseorang yang tidak ia jumpai.
Tetapi saya, saya mencintaimu tanpa menjumpaimu.
Saya tidaklah baik dalam menggambar, namun saya ingin menuliskannya.
Saya ingin menuliskannya untukmu ya Rasulullah.
Seandainya engkau hanya bisa kembali kepada kami untuk beberapa jam saja…
Beberapa detik… Beberapa saat…
Dia akan mengerti nantinya.