Fashion menjadi bahasa yang diagungkan siapa saja, dan menjadi salah satu propaganda barat yang dipakai berabad-abad lamanya sebagai proses perubahan sebuah kultur.
Dulu tidak ada rok mini, tapi kemudian dengan dalih tren, anak-anak dan remaja di kampung-kampung, termasuk kaum ibunya, tanpa peduli cocok atau tidak, mereka kenakan pakaian mini.
Muara dari liberalisasi fashion adalah upaya pendangkalan akidah. Ketika fashion menjadi alat proganda yang paling jitu, tanpa terasa ibu-ibu merelakan anaknya yang masih kecil untuk tampil sebagai model yang mengenakan pakaian seksi.
Begitu juga dengan tato, dengan alasan artistic dan estetik, serta trend, akhirnya anak-anak kita ingin bertato. Karenanya, bahaya fashion ini harus diwaspadai oleh para pemuka agama, mengingat ada propaganda yang disisipkan di dalamnya.
Termasuk, fenomena yang terjadi dalam dunia hijab saat ini. Dulu di tahun 80-90an, hijab dianggap aneh. Tapi kini, tendensi hijab semakin tinggi, bahkan hijab community kian banyak bermunculan. Dalam perjalanannya, ternyata ada suatu degradasi atau pergeseran, dimana hijab bukan lagi wujud dari nilai-nilai ruhiah, tapi hanya sekedar akulturasi dari sifat mode, atau sekedar mode belaka. Fenomena ini sedang terjadi di Indonesia.
Busana muslimah sekarang ini banyak yang tidak menutup aurat tapi masih sebatas membalut aurat. Ada yang berhijab, tapi seksi. Tidak cukup mengatakan lebih baik menutup aurat daripada tidak. Karenanya, sangat disayangkan jika muncul genre baru, berhijab tapi seksi atau istilahnya kerennya, jilboob. Tapi kita harus optimis bahwa semua akan berproses untuk menuju hijab yang syar’i.