Ini adalah sebuah kisah mengenai Umar bin Khattab ra yang melakukan blusukan untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Beliau secara rutin melakukan blusukan tanpa diketahui rakyatnya dan tanpa adanya keinginan untuk dipuji seorang pun. Kisah ini diceritakan oleh Al Hafidz Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya, “Tarikh Dimasqi”, sebagai berikut:
Seperti biasa, malam menjelang subuh itu Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra berkeliling kota mengontrol keadaan rakyatnya. Sebuah pekerjaan rutin dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Tiba-tiba beliau menangkap percakapan menarik dari sebuah gubuk yang dihuni seorang wanita penjual susu bersama ibunya.
“Ayo, bangunlah! Campurkan susu itu dengan air!” perintah sang ibu. Sang ibu berharap agar ia memperoleh keuntungan lebih banyak dari hasil penjualan susu oplosannya (campuran).
“Apakah ibu belum mendengar larangan dari Amirul Mukminin?” sergah sang anak gadis.
“Apa larangannya?”
“Beliau melarang menjual susu yang dicampur air.”
“Ah, ayo bangunlah. Cepat campur susu itu dengan air. Jangan takut pada Umar, sungguh ia tidak melihatnya!”
“Memang Umar tidak melihat, namun Tuhannya Umar melihat kita…” timpal sang gadis.
Umar tertegun. Dialog ibu dan anak ini begitu menyentuhnya. Sang Khalifah tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Beliau kagum akan kejujuran dan keteguhan hati sang gadis miskin tersebut. Mungkin gadis tersebut miskin harta, tetapi berhati kaya. Amirul Mukminin teringat akan tujuannya semula dan bergegas menuju masjid untuk shalat Fajar bersama para sahabat.
Pagi harinya beliau memerintahkan salah seorang putranya, Ashim untuk meminang gadis miskin yang jujur itu. “Pergilah kau ke sebuah tempat, terletak di daerah itu. Di sana ada seorang gadis penjual susu. Kalau ia masih sendiri, pinanglah dia. Mudah-mudahan Allah mengaruniakanmu seorang anak yang shalih yang penuh berkah.”
Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua orang putri, yaitu Laila dan Hafsah. Laila lebih dikenal dengan panggilan Ummu Ashim. Sebagaimana kehidupan kakeknya, Ummu Ashim menikmati kebersahajaan hidup di Madinah. Dia pun mewarisi akhlak mulia dan kecerdasan dari kakek dan orangtuanya. Bagi mereka, ilmu, ketakwaan dan kebaikan hati lebih berharga daripada kekayaan dunia.
Saat dewasa, Ummu Ashim dipersunting oleh Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir kala itu. Ia melamar Ummu Ashim dan memberinya 400 dinar sebagai mahar.
Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.
Dari rahim Ummu Ashim lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Sejak Umar kecil, ibunya menanamkan kecintaan kepada ilmu dan membimbingnya langsung dalam menghafal Al-Qur’an hingga Umar mampu menghafalnya seluruhnya dalam usia yang masih belia.
Suatu ketika Umar kecil terlepas dari pengawasan ibunya dan masuk ke kandang kuda. Tanpa dapat dicegah, seekor kuda menendang kening Umar hingga terluka. Tanpa sengaja seekor kuda jantan menendangnya sehingga keningnya robek hingga tulang keningnya terlihat. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum. Seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar,
“Bergembiralah engkau wahai Ummi Ashim. Mimpi Umar bin Khattab insyaallah terwujud, dialah anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.“
Tanda luka di kening Umar bin Abdul Aziz rupanya pernah menjadi mimpi Umar bin Khaththab dulu. Itulah adalah tanda pemimpin dari keturunan Umar yang akan memenuhi dunia dengan keadilan.
Umar Ibn Abdul Aziz menjadi khalifah pada usia 36 tahun sepanjang 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahannya sangat menakjubkan. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Azia, terkumpul banyak sekali baitul mal atau zakat. Tak ada umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta zakat yang yang banyak sekali tersebut terpaksa diiklankan kepada siapa yang membutuhkan harta untuk menikah, dan keperluan lain. Saat itu rakyat hidup damai, adil, tentram, dan makmur sehingga tidak ada yang mau menerima harta zakat.